Awal Perubahan

Turunya wahyu pertama ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah kemanusiaan. Sejak turunnya wahyu pertama ini, Alloh SWT berkenan memberikan bimbingan kepada umat manusia menuju jalan yang lurus dan benar secara berturut-turut dan berangsur-angsur. Dari berbagai petunjuk-Nya yang suci itu, Alloh AWT memberikan tuntunan pola membaca yang benar sebagai wahyu yang pertama. Seluruh perubahan menuju peradaban yang agung itu dimulai dengan perubahan yang pertama, yaitu “Iqro’ bismirobbika alladzi khalaq”.
Dalam kenyataannya memang perubahan-perubahan besar menyangkut kehidupan manusia dimulai dari membaca. Tetapi ternyata tidak semua perubahan itu mengarah ke tujuan yang benar. Perubahan yang dimotivasi kesombongan manusia dengan akal pikirannya, semisal sekulalisme akan semakin menjauhkan manusia dari Tuhannya. Perubahan yang dipicu rasa dendam, semisal komunisme akan melahirkan malapetaka. Maka terasa sangat agung nilainya pada saat Alloh SWT pertama kali memberikan bimbingan kepada manusia untuk mengubah orientasi jahiliyah menuju pola pandang yang baru dan suci, yaitu membaca dengan membawa asma Robb Yang Maha Pencipta.

Dengan pola pandang ini manusia dapat mengambil jarak berfikir sehingga tidak lagi terbelenggu oleh subyektivitas nafsunya. Ia juga dapat mengambil jarak dengan orientasi hidup jahiliah menuju orientasi hidup bertauhid, yaitu orientasi hidup yang utuh, tidak hanya secara horizontal tetapi juga vertikal. Manusia, dengan demikian, memiliki pola pandang yang benar dalam kedudukannya sebagai hamba Alloh SWT yang dituntut untuk memiliki standar ukuran tidak menurut hawa nafsu, tetapi menurut Alloh SWT. Dari perubahan pola membaca inilah, manusia dapat menerobaos berbagai hijab yang menghalangi, untuk menguak kebenaran dan melangkah dan melangkah dengan suatu arah yang benar. Ini semua merupakan awal perubahan yang besar dari peradaban jahiliyah menuju peradaban Qur’ani.
Diantara masalah mendasar manusia adalah masalah ketuhanan. Wahyu yang pertama ini membarikan jawaban yang mencerahkan tentang ketuhanan melalui metode yang unik dan orisinil khas Al-Qur’an. Metode itu tidak sekedar mampu dilalui para pakar yang berotak jenius, tetapi dapat juga digunakan oleh mereka yang awam. Metode ini mendasarkan pada ‘fitrah rububiyah” yang dimiliki seluruh manusia, yakni kesadaran berketuhanan. Setiap manusia dalam hati yang paling dalam telah memiliki kesadaran ini, karena memang jiwa manusia pernah berdialog dengan tuhannya.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",(QS 7/a-A’raaf: 172)

Pada wahyu pertama, fitrah rububiayah inilah yang dijadikan sebagai nilai dalam beriqra’, sehingga manusi dapat menerobos kesadaran ilahiah. Manusia tidak hanya mengetahui bahwa pencipta dirinya adalah Alloh SWT, tetapi juga terhantar untuk sadar dan bersikap secara benar sebagai hamba kepada Tuhannya. Melalui pola membaca Qur’ani, manusia akan mengenali posisi dirinya sebagai hamba dengan Alloh SWT sebagai Khaliq. Demikian pula terhadap sesamanya ia tidak layak bersikap sombong. Dengan pola membaca Qur’ani ini, ia juga sadar bahwa semua yang tercipta di alam ini merupakan wujud nyata dari kebesaran Alloh SWT. Mereka inilah yang disebut sebagai ulul albab.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.(QS 3/ Ali-Imron: 190-191)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar